Malam itu, Saya Menangisi Hidup Atau Menangisi Diri Sendiri?

Sudahkah Anda berdialog dengan diri sendiri hari ini?
Coba luangkan waktu malam ini untuk merenung…Mungkin, seperti saya, Anda juga akan menemukan jawaban yang tak disangka.
Menangisi Hidup Atau Menangisi Diri Sendiri?
Ada malam-malam tertentu yang terasa lebih sunyi dari biasanya. Bukan karena tidak ada suara, tapi karena hati saya sedang sibuk berdialog dengan diri sendiri.
Malam ini, saya termenung. Bukan karena lelah, tapi karena tiba-tiba saja saya merasa... kecil. Hidup yang saya jalani selama ini, sejujurnya masih terasa seperti langkah pertama dari perjalanan panjang yang belum kunjung jelas arahnya. Di usia saya yang sudah melewati angka 30, saya merasa seperti baru belajar berjalan.
Kadang, saya ingin menangis.
Tapi saya malu.
Malu bukan pada orang lain, tapi pada diri saya sendiri. Saya ingin menangis karena hidup saya... tidak seperti hidup orang lain. Saya merasa tertinggal. Saya melihat pencapaian orang lain, senyum mereka, stabilitas finansial mereka, kehidupan keluarga mereka — lalu saya bandingkan dengan diri saya sendiri.
Mungkin ini yang disebut iri.
Atau... mungkin saya sedang lupa bersyukur atas apa yang sebenarnya sudah saya miliki.
Saya lupa, bahwa Allah SWT telah menetapkan segalanya dengan waktu dan takaran yang sempurna. Termasuk untuk saya. Bahwa semua pencapaian, rezeki, jodoh, bahkan ujian hidup, semuanya datang di waktu yang paling tepat menurut-Nya — bukan menurut saya.
Dan di situ saya merasa sangat malu.
Malu karena terlalu banyak meminta, tanpa cukup banyak bercermin. Saya mengeluh, saya menuntut lebih... tapi saya lupa bertanya pada diri sendiri: "Apa yang sudah saya persiapkan untuk hidup ini?"
Pertanyaan itu menggelitik hati saya.
Bukan… saya bukan sedang menangisi hidup.
Mungkin saya sedang menangisi diri saya sendiri,
yang dulu terlalu sibuk mengejar dunia,
yang tidak menyiapkan kehidupan masa depan,
yang tidak memberi ruang untuk sabar dan syukur.
Saya sadar, saya terlalu sering membandingkan perjalanan saya dengan orang lain. Padahal setiap orang punya garis hidup yang berbeda-beda. Kita semua berangkat dari titik yang berbeda, dengan bekal yang tidak sama.
Lalu... untuk apa saya harus menangis karena hidup saya tak seperti mereka?
Mungkin ini adalah cara Allah SWT menegur saya dengan lembut.
Mungkin malam ini, adalah teguran dari langit — bahwa sudah waktunya saya berserah sepenuh hati. Bukan sekadar di lisan, tapi dari jiwa yang paling dalam.
Saya belajar lagi, bahwa sholat dan sabar bukan hanya ritual dan nasihat kosong. Keduanya adalah kunci. Kunci untuk menemukan kembali tenang dalam hidup yang kadang kacau. Kunci untuk membuka pintu rasa syukur yang mulai tertutup kabut keluh.
Hari ini, saya tidak ingin menangisi hidup saya lagi.
Saya ingin mulai memeluknya, meskipun belum seindah milik orang lain.
Dan Anda yang sedang membaca ini, jika pernah merasakan hal yang sama,
izinkan saya bilang: kita tidak sendiri.
Mari pelan-pelan belajar menerima, memperbaiki, dan berserah.
Karena pada akhirnya, hidup ini bukan soal siapa yang paling cepat,
tapi siapa yang paling kuat bertahan dan paling tulus bersyukur.
Post a Comment for "Malam itu, Saya Menangisi Hidup Atau Menangisi Diri Sendiri?"