Saya Bangga Karena Masih Menjadi Diri Sendiri… Tapi Bagian Tersedihnya Tidak Ada yang Tahu
Refleksi tentang bertahan, memeluk luka lama, dan menemukan kembali diri yang selama ini terus berjuang dalam diam.
Saya Bangga Karena Masih Menjadi Diri Sendiri
Sebuah obrolan pelan tentang bertahan, pulih, dan kembali menemukan diri.Pernahkah Anda merasa lelah… tapi tidak tahu kenapa?
Bangun tidur dengan dada yang kosong. Semua pencapaian seperti tidak berarti
apa-apa. Dan entah kenapa… Anda terus berpura-pura kuat, padahal dalam hati
cuma ingin didengar.
Kadang, saya bertanya pada diri saya sendiri:
“Kenapa capeknya tidak hilang-hilang?”
“Kenapa saya harus terlihat baik-baik saja?”
“Kenapa saya terus memaksa diri untuk kuat, padahal saya sendiri butuh
tempat untuk bersandar?”
Dan di tengah semua pertanyaan itu, ada satu kalimat yang perlahan muncul dan menenangkan saya:
Saya bangga… karena masih menjadi diri saya sendiri.
Kalimat sederhana. Tidak heboh.
Tidak seperti gelar atau prestasi yang bisa dipamerkan.
Tapi bagi saya, kalimat itu adalah penanda perjalanan panjang — yang sepi,
sunyi, tapi sangat nyata.
Bertahan Tanpa Suara
Ada luka yang tidak pernah saya ceritakan. Luka yang muncul dari hal-hal yang dulu tidak saya mengerti, tapi kini terasa tajam di dada saat tak sengaja teringat.
Saya tumbuh dengan banyak kekosongan. Banyak tanda tanya. Banyak rasa yang harus saya telan sendiri.
Ada masa ketika saya berpikir,
“Mungkin memang begini hidup saya.”
Tapi di titik lain, saya tahu:
saya ingin berhenti hidup sebagai bayangan dari masa lalu saya sendiri.
Maka saya mulai belajar menyembuhkan.
Pelan-pelan. Diam-diam. Tanpa tepuk tangan siapa pun.
Dan jujur saja…
proses itu sangat melelahkan.
Dunia Bergerak Cepat, Tapi Saya Memilih Pelan
Di luar sana semua orang seperti berlomba.
Semakin sibuk, semakin keren.
Semakin capek, semakin dianggap “berjuang”.
Tapi saya?
Saya memilih menarik napas.
Memelankan langkah.
Mendengarkan tubuh dan hati sendiri.
Saya tidak ingin hidup hanya karena takut tertinggal.
Saya tidak ingin ikut-ikutan hanya karena orang lain melakukannya.
Saya tidak mau terlihat keren di luar tapi kosong di dalam.
Saya ingin selaras.
Saya ingin sadar.
Saya ingin damai.
Dan saya memilih jalan yang baik untuk jiwa saya — meski jalannya tidak populer.
Melepaskan Luka, Memaafkan Diri
Saya belajar bahwa menyembuhkan bukan tentang melupakan.
Bukan tentang pura-pura tidak sakit.
Justru menyadari bahwa saya terluka… adalah pintu pertama menuju pemulihan.
Saya belajar memaafkan orang-orang yang tidak pernah meminta
maaf.
Saya belajar memaafkan diri sendiri yang dulu tidak tahu apa-apa.
Saya belajar mengambil alih kendali dari apa yang dulu selalu membuat saya tak
berdaya.
Memaafkan bukan untuk mereka.
Itu untuk saya.
Untuk hidup yang sedang saya bangun ulang dari sisa-sisa keberanian saya.
Keluarga Kecil, Kekuatan Besar
Di tengah proses itu, ada satu hal yang membuat saya terus
melangkah:
keluarga kecil saya.
Tawa anak saya.
Pelukan pasangan.
Obrolan sederhana di ruang tamu.
Semuanya menjadi bukti bahwa saya berhasil menciptakan
sesuatu yang dulu saya idam-idamkan:
rumah yang hangat, aman, dan penuh cinta.
Mereka mungkin tidak tahu seluruh luka saya.
Tapi mereka merasakan hasil penyembuhannya — dari cara saya hadir, mencintai,
dan menjaga.
Dan itu… cukup.
Lebih dari cukup.
Saya Tidak Ingin Terlihat Hebat. Saya Ingin Selamat.
Ada masa ketika saya ingin dianggap.
Ingin dihargai.
Ingin dilihat sebagai seseorang yang “berhasil”.
Tapi sekarang, saya hanya ingin menatap diri sendiri di cermin dan berkata:
“Terima kasih ya… sudah bertahan sejauh ini.”
Saya tidak ingin jadi yang paling kuat.
Saya tidak ingin jadi yang paling menginspirasi.
Saya hanya ingin hidup tanpa mengulang luka,
tanpa berlari tanpa arah,
tanpa kehilangan diri saya sendiri.
Untuk Anda yang Sedang Berproses
Jika Anda membaca ini dan merasa ada bagian dari diri Anda
yang ikut gemetar…
saya ingin bilang:
Anda tidak sendiri.
Pulih itu sunyi, tapi bukan berarti Anda berjalan sendirian.
Pelan-pelan. Setahap-setahap. Kita akan sampai.
Bukan pada kesempurnaan, tapi pada kedamaian.
Jika Anda pernah merasa asing di dunia yang keras,
ingatlah:
menjadi diri sendiri adalah bentuk perlawanan paling indah.
Dan Anda berhak bangga.
Karena masih bertahan.
Karena tidak menyerah.
Karena tetap hadir — apa pun bentuknya hari ini.

Post a Comment for "Saya Bangga Karena Masih Menjadi Diri Sendiri… Tapi Bagian Tersedihnya Tidak Ada yang Tahu"